Minimum Viable Product, Strategi Startup Minimalisasi Rugi

Dalam membangun sebuah startup, kita pastinya berharap perusahaan tersebut mampu berkembang pesat dan menjangkau pasar yang luas. Namun, operasional startup yang masih mengandalkan uang yang kecil tentu akan menyulitkan kita untuk mencapai tujuan tersebut. Nah, di sinilah minimum viable product menjadi sebuah solusi.

Apa itu minimum viable product? Seberapa menguntungkan proses tersebut? Kencangkan sabuk pengamanmu karena mulai dari sini, Sobat akan berkenalan dengan sebuah proses awal penciptaan produk yang membantu melahirkan perusahaan top dunia. Yuk, kita mulai!

1. Apa Itu Minimum Viable Product?

Minimum Viable Product, Strategi Startup Minimalisasi Rugi
Minimum viable product mengenalkan produk ke konsumen

Bayangkan Sobat sudah memiliki startup dan kini sedang mengkhayalkan rancangan sebuah produk untuk ke depannya. Dalam bayanganmu, produk tersebut memiliki fitur yang lengkap, mulai dari A sampai Z, sehingga mampu menjawab setiap kebutuhan calon pelanggan.

Terlihat seperti ide yang cemerlang. Namun, muncul masalah: dapat uang dari mana? Apakah sumber daya manusia yang ada mampu membuatnya? Nah, di situlah minimum viable product cocok Sobat terapkan.

Minimum viable product (MVP) adalah sebuah produk pada iterasi (tahap pengembangan yang terjadi berulang) awal yang berfungsi menjadi media pembelajaran dan pengenalan.

Media pembelajaran di sini maksudnya adalah MVP berfungsi untuk lebih mengetahui kemauan konsumen yang terkadang tersembunyi. Sementara itu, media pengenalan merupakan kebalikannya, yaitu agar calon konsumen tahu ada produk yang datang kepada mereka.

Mau jadi Digital Marketer? Baca panduan lengkap Digital Marketing berikut.

2. Kunci Minimum Viable Product yang Baik

Minimum Viable Product, Strategi Startup Minimalisasi Rugi
Fitur dalam MVP diciptakan seminimal mungkin dengan tetap mampu memberikan suatu nilai

Untuk membuat sesuatu menjadi MVP, kita setidaknya harus mematuhi apa yang ada dalam definisinya. Dalam hal ini, Sobat harus mengerti kepanjangannya itu sendiri.

Karakteristik minimum viable product dapat kita ketahui hanya dengan melihat namanya. Berikut penjelasan selengkapnya.

a. Minimum

Berarti, produk pada tahap ini haruslah hanya berisi fungsi-fungsi fundamental. Walaupun begitu, fungsi tersebut harus bisa membuat calon konsumen mampu mengidentifikasi apa yang pengembang coba tawarkan.

b. Viable

Artinya adalah ‘layak’. Di sini, kita harus melihat calon pelanggan sebagai early adapter, yakni sebagai orang yang sama sekali baru mengenal produk kita. Nah, orang-orang semacam ini lebih mudah untuk tertarik dan memberi feedback apa saja sesuai yang mereka rasakan.

Selain itu, early adapter juga menggambarkan kondisi pelanggan yang berada di tingkat pengetahuan paling rendah (belum tahu apa-apa tentang produk). Apabila mampu menjangkau kelompok ini, berarti Sobat berpotensi mampu menjangkau kelompok-kelompok di atasnya juga.

Tertarik jadi Data Analyst? Baca panduan lengkap Data Analysis ini.

c. Product

Poin ini menggambarkan kondisi MVP itu sendiri sebagai suatu produk. Sebuah MVP haruslah bisa pelanggan pakai, rasakan, dan bersifat tangible (berwujud) sehingga kita bisa mengirimkannya ke mereka.

Walaupun tiap startup berbeda-beda dalam mengimplementasikan proses ini, setidaknya ada 3 kunci utama, selain berdasarkan definisinya, yang juga perlu dipenuhi:

  • Meskipun mengurangi fitur sebanyak mungkin, minimum viable product harus tetap memiliki value yang dapat menarik minat calon pelanggan
  • Minimum viable product harus dapat menggambarkan apa yang akan perusahaan tawarkan di masa depan—ibarat sebuah trailer film
  • Minimum viable product harus dapat menjadi fasilitas utama perusahaan dalam menjaring keinginan pelanggan beserta saran-saran mereka

3. Tujuan Minimum Viable Product

Minimum Viable Product, Strategi Startup Minimalisasi Rugi
Salah satu tujuan minimum viable product adalah untuk lebih mengenal konsumen

Mungkin, Sobat bertanya-tanya, apakah membuat minimum viable product sepenting itu? Untuk menemukan jawabannya, kamu perlu melihat tujuan MVP berikut ini.

a. Launch produk secepat mungkin

Dalam pembuatan produk, jangan terpaku pada aspek kerapian. Fokuslah pada kecepatan. Tak peduli seberapa tidak rapinya suatu produk, selama masih layak dan fungsional, kita harus meluncurkannya secepat mungkin ke pasar.

Hal ini akan sangat menguntungkan karena kita mampu melakukan eksekusi sebelum momentum menghilang. Nah, di situasi seperti itulah kehadiran MVP begitu penting.

b. Mengenal konsumen dan mendapat feedback

Sebagai calon pemilik startup, kita bisa memosisikan diri sebagai pemberi solusi untuk sebuah masalah. Sebab, untuk mengetahui kesulitannnya, kita biasanya mengobrol dengan orang yang mengalami kondisi tersebut, bukan?

Minimum viable product membantumu berada dalam satu bangku yang sama dan saling mengobrol. Ini mencegah tim pengembang melihat konsumen sebagai orang misterius yang tidak mereka kenal sama sekali.

Tanpa MVP, tim hanya bisa menerka-nerka permasalahan di sisi konsumen tanpa mengetahui kenyataannya. Jatuhnya malah jadi seperti berjudi dengan kesempatan dan uang sendiri.

Mau jago Microsoft Excel? Simak panduan lengkap Excel di sini.

c. Mendapatkan konsumen pertama

Semuanya butuh basis konsumen pertama dan inilah saat yang tepat untuk mendapatkannya. Betapa banyak startup yang gagal, bahkan sebelum satu konsumen pun menggunakan layanannya. Nah, hal itu bisa dicegah. Siapa tahu konsumen pertama ini bakal mempromosikan ke teman-temannya, kan?

4. Pivot dalam Minimum Viable Product

Minimum Viable Product, Strategi Startup Minimalisasi Rugi
Pivot menjadi proses di mana pengembang memikirkan kembali keuntungan MVP-nya

Kita sudah mengembangkan produk, mulai dari tahap ide, prototype, hingga minimum viable product. Kita juga sudah melemparnya ke pasar sebagai cara untuk “mengetes ombak”. Namun, pasar ternyata tidak memberikan reaksi seperti yang kita inginkan. Kira-kira, apa yang harus dilakukan? Menurut MVP, kamu harus pivot, nih!

Pivot sendiri merujuka pada proses mendesain ulang produk beserta fitur-fiturnya untuk selanjutnya diluncurkan kembali dalam bentuk minimum viable product yang baru.

Supaya lebih paham, bayangkan Sobat sedang mengerjakan eksperimen di laboratorium sekolah. Terlebih dahulu, kita harus membuat hipotesis dulu, kan? Barulah setelahnya, kita melakukan eksperimen berdasarkan dugaan tersebut.

Nah, pivot ini adalah kondisi di mana kita kembali lagi ke hipotesis, mengubah beberapa bagiannya, kemudian melaksanakan eksperimen baru. Mungkin, kelihatan seperti suatu kegagalan, tapi tenang. Dalam dunia startup, ini hal yang normal, kok!

Ada beberapa kondisi pivot. Di satu kondisi, Sobat mungkin hanya perlu mengganti fitur utama atau fitur pendukungnya. Namun, di kondisi lain, Sobat perlu mengganti fitur utama menjadi pendukung karena para pelanggan justru lebih banyak menggunakan fitur pendukung tersebut.

Selain itu, seperti pada penjelasan di awal, gak cuma murni fitur-fitur produk saja yang bisa kita pivot, hal-hal pendukung di luar produk pun juga bisa, lo! Misalnya, kita bisa mengubah target pasar, platform berjualan, marketing, hingga dari mana kita menghasilkan uang. Pokoknya, apa yang perlu diubah, ubah aja!

Mau jadi UI-UX Designer? Cek panduan lengkap UI-UX Design berikut.

5. Jenis-Jenis Minimum Viable Product

Minimum Viable Product, Strategi Startup Minimalisasi Rugi
Kita bisa memanfaatkan kemampuan manusia untuk menggantikan teknologi pada MVP

Dari penjelasan sebelumnya, MVP mungkin terkesan seperti satu produk saja. Padahal, jenis ada beberapa macam, lo! Memangnya, ada apa saja? Berikut penjelasan selengkapnya.

a. Piecemeal MVP

MVP ini menggunakan platform, teknologi, dan sumber daya yang sudah ada untuk menciptakannya. Sebagai contoh, daripada membuat website baru dari nol, tim pengembang memanfaatkan WordPress.

Contoh lainnya adalah penggunaan Google Forms dalam mengumpulkan data pelanggan untuk pemrosesan layanan yang akan pengembang berikan.

b. Wizard of Oz MVP

Layaknya film Wizard of Oz, MVP yang satu ini mengandalkan kompetensi manusia ketimbang teknologi. Hal ini karena terkadang, butuh waktu yang lama untuk dapat bergantung pada teknologi sebagai bentuk automasi. Jadi, daripada membuang-buang waktu, lebih baik menggunakan kemampuan manusia yang sudah ada.

Keadaan ini memberikan ilusi bahwa seakan-akan, pengembang sedang menguji prototype produknya. Padahal kenyataannya, semua proses bergantung pada manusia.

c. Concierge MVP

Nah, yang ini sama dengan Wizard of Oz MVP. Bedanya, pada Concierge MVP, konsumen tahu betul bahwa pihak yang menciptakan produknya adalah manusia, bukan teknologi. 

d. Landing Page MVP

Pada website, landing page adalah laman pertama yang Sobat temui ketika masuk ke dalam sebuah situs web. Biasanya, dalam sebuah landing page, terdapat tombol-tombol call to action yang mengajak konsumen melakukan aksi tertentu.

Aksinya bisa berupa ajakan untuk segera membeli, mendaftar akun, berlangganan email informasi dan promosi, hingga ajakan untuk membaca informasinya lebih lanjut. Nah, MVP yang satu ini juga menggunakan hal serupa dalam menawarkan value-nya.

Dengan menggunakan Landing Page MVP, tim pengembang berharap dapat mengetahui antusiasme calon konsumen dengan melakukan analisis terhadap tombol call to action-nya. Jenis yang satu ini juga bisa melihat seberapa besar langkah yang konsumen ingin tempuh untuk mendapatkan benefit dari produk yang kita tawarkan.

Dengan bantuan analisis, kita bisa segera mendapatkan kesimpulan mengenai seberapa loyal dan royal calon konsumen serta seberapa besar urgensi MVP di tengah mereka.

Itulah penjelasan mengenai minimum viable product. Meskipun tampak menguras tenaga dan waktu, sudah banyak perusahaan yang berhasil meraup keuntungan dengan metode MVP ini, lo! Contoh nyatanya adalah Twitter dan Youtube.

Nah, kalau Sobat berhasil membaca artikel ini sampai habis, itu artinya kamu diam-diam memiliki ketertarikan di bidang bisnis, lo! Kebetulan, MySkill menyediakan banyak bootcamp menarik untuk menunjang bisnismu. Spoiler sedikit, harganya terjangkau banget!

Mari terus belajar dan kembangkan skill di MySkill